Close

Ambiguitas Elite NU

2024-08-09 HaiPress

Anda bisa menjadi kolumnis !

Kriteria (salah satu): akademisi,pekerja profesional atau praktisi di bidangnya,pengamat atau pemerhati isu-isu strategis,ahli/pakar di bidang tertentu,budayawan/seniman,aktivis organisasi nonpemerintah,tokoh masyarakat,pekerja di institusi pemerintah maupun swasta,mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Daftar di sini

Kirim artikel

Editor Sandro Gatra

KH. YAHYA Cholil Staquf (Gus Yahya) sesaat terpilih menjadi Ketua Umum PBNU di pelbagai forum menegaskan tentang posisi NU yang tidak ada kaitannya dengan partai politik manapun,tak terkecuali Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Ia menyebut,PKB bukanlah representasi Nahdlatul Ulama (NU). Sikap itu secara konsisten disuarakan hingga menjelang Pemilu 2024 lalu. Jejak digital soal pernyataan ini mudah dijumpai di pelbagai platform digital.

Lima bulan usai gelaran Pemilu 2024,sikap itu berubah. Alih-alih mengukuhkan konsistensi dengan pernyataan sebelumnya,PBNU melalui Ketua Umum Gus Yahya dan Sekjen Saifullah Yusuf (Gus Ipul) tiba-tiba cawe-cawe urusan PKB; membentuk tim khusus PKB dan memanggil pengurus dan mantan pengurus PKB.

Perubahan sikap yang drastis ini tentu menimbulkan tanda tanya di publik dan menimbulkan pandangan negatif terhadap elite NU.

Politik kedelai

Pertama kali muncul saat maju menjadi calon ketua umum PBNU dalam Muktamar ke-34 NU di Lampung pada 2021,Gus Yahya membuat narasi besar “Menghidupkan Gus Dur”.

Pengalaman menjadi juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid,menambah modal sosial yang amat berarti bagi Gus Yahya,untuk mengidentifikasi diri sebagai santri Gus Dur.

Tak berselang lama usai terpilih mengalahkan KH Said Aqil Siradj,Gus Yahya menegaskan sikap politik NU yang tidak terafiliasi dengan partai politik mana pun,termasuk PKB.

Tak sedikit kalangan sarjana,pemerhati NU,memuji dan mengapresiasi narasi Gus Yahya. Memori publik tentang Gus Dur dengan mudah disandingkan dengannya.

Namun,suasana itu tak berlangsung lama. Alih-alih menguatkan khitah dan gagasan NU di abad kedua dengan pokok utamanya mendorong kemandirian,NU di bawah kendali Gus Yahya - Gus Ipul (Ketum dan Sekjen PBNU) justru mundur jauh ke belakang; cawe-cawe urusan politik praktis,yang tak ada sangkut pautnya dengan core business NU sebagai ormas keagamaan Islam.

Belakangan NU tampak menjadi entitas politik imbas pernyataan dan tindakan Ketua Umum dan Sekjen PBNU (elite NU).

Meski,jika dirunut ke belakang,geneologi kedua tokoh tersebut sejatinya merupakan sosok aktivis-politisi.

Gus Yahya merupakan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) saat kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan pernah menjadi Wakil Sekjen PKB.

Begitu juga Gus Ipul pernah menjadi aktivis HMI saat kuliah di Universitas Nasional (Unas) Jakarta dan pernah menjadi kader PDI Perjuangan dan PKB.

Meski memiliki latar belakang politisi,tak lantas menjadi pembenar tindakannya dalam mempolitisasi PBNU seperti saat ini.

Keduanya kini berperan sebagai ulama yang berdiri di atas semua kepentingan politik,apalagi politik berjangka pendek dan sempit.

Penafian: Artikel ini direproduksi dari media lain. Tujuan pencetakan ulang adalah untuk menyampaikan lebih banyak informasi. Ini tidak berarti bahwa situs web ini setuju dengan pandangannya dan bertanggung jawab atas keasliannya, dan tidak memikul tanggung jawab hukum apa pun. Semua sumber daya di situs ini dikumpulkan di Internet. Tujuan berbagi hanya untuk pembelajaran dan referensi semua orang. Jika ada pelanggaran hak cipta atau kekayaan intelektual, silakan tinggalkan pesan kepada kami.
©hak cipta2009-2020 Informasi Gaya Hidup Riau      Hubungi kami   SiteMap